Selamat datang Kawan!

Menulis bersama angin...
ayo merdeka! ^-^v

Kamis, 04 Februari 2021

KEPING 2 CITA-CITA RANIA


“Mbak!” Rania mendekati Mbak Cantika yang sedang menggendong Iza yang masih bayi. Iza adalah anaknya Mbak Cantika yang baru berusia satu tahun.

“Ada apa, Nia?” jawab Mbak Cantika sambil memanggil panggilan kecil Rania yaitu Nia.

“Aku kan punya cita-cita ingin menjadi penulis, tapi aku malas mengikuti pelatihan-pelatihan menulis juga lomba-lomba menulis,” lanjut Rania, “Boleh kalau seperti itu?”

Mbak cantika masih fokus dengan baby Iza, tapi tetap mendengarkan Rania dengan saksama,”Mbak mau nanya nih sama Nia. Kalau Nia ingin pergi ke Bandung tapi malah ikut kereta api jurusan Yogyakarta, kira-kira bakal sampai ke Bandung tidak?”

“Ya, tidak akan sampai tujuan, Mbak.” Jawab Rania.

“Ya begitu pun dengan cita-cita kita, kalau mau jadi penulis ya harus menulis, belajar menulis, ikut event, atau mengirimkan karyamu ke penerbit. Memang tidak akan mudah tapi setidaknya kita melangkah ke arah yang kita tuju.” Lanjut Mbak Cantika. 

“Oh, gitu ya, Mbak.”

Rania sama sekali tidak bisa termotivasi oleh kata-kata kakak sepupunya itu. Pesimis dalam kepalanya sedang merajalela, membuatnya tak bisa memikirkan apapun. Rania benar-benar pesimis bahwa dia bisa menjadi seorang penulis yang bisa membuat karya yang diterbitkan.

Rania benar-benar kesulitan untuk berkonsentrasi membuat satu tulisan utuh, entah sudah berapa buku catatan yang dia coba untuk dijadikan sebuah buku cerita, tapi tidak ada yang kunjung selesai. Semuanya hanya berupa coretan-coretan yang tidak saling berhubungan. Entah berapa mind mapping yang dia buat beserta judulnya yang dia targetkan untuk menjadi sebuah buku. Tapi semuanya tidak ada yang berhasil dibuat buku ataupun satu cerita pendek yang utuh. Otak Rania serasa buntu dan tidak dapat berpikir sama sekali.

Akhirnya Rania menyadari, kebuntuan ini diawali saat dia kuliah di jurusan bahasa. Selama empat setengah tahun kuliah dia hanya bisa menulis dua artikel yang diterbitkan di koran. Selebihnya jika diminta membuat tugas karya tulis fiksi, selalu menggunakan tulisan yang dia tulis saat SMA. Memang, penyakit bipolarnya itu sudah ada gejalanya saat kuliah dan memburuk saat kuliah semester lima.

“Mbak, aku mau menghapus cita-citaku untuk jadi penulis,” lanjut Rania kepada Mbak Cantika.

“Kenapa?”

“Susah sekali menulis itu, Mbak!”

“Ya sudah, kamu istirahatkan dulu diri dan pikiran kamu. Kalau sudah tenang baru pikirkan apa yang ingin kamu capai nanti,” jawab Mbak Cantika bijak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar