Selamat datang Kawan!

Menulis bersama angin...
ayo merdeka! ^-^v

Kamis, 04 Februari 2021

KEPING 10 BERSAHABAT DENGAN OBAT

 

Ha ha ha ha sudah kubilang naskah novelmu tidak akan selesai.

Suara miring yang tak terdengar oleh orang lain itu menghantui Rania, padahal Rania baru saja selesai mengetik bab Sembilan yang berisi tulisan pendek itu. Suara-suara miring dan perasaan takut menyeruak terus menerus entah mengapa. Membuat pundak Rania rasanya gemetaran saking takutnya naskah yang dia coba tulis tidak lancer dan dia didepak dari kelas menulis online itu.

Kamu tidak bisa memikirkan ide apapun bukan?

Seolah tahu kelemahan Rania, suara-suara itu terus berlanjut melemahkan tekadnya untuk menulis. 

Memang kamu lancer menulis hingga bab Sembilan, tapi selanjutnya akan sama seperti sebelum-sebelumnya. Kamu akan gagal dan berhenti sebelum titik akhir.

Kepala Rania berdenyar-denyar. Rasanya pusing dan bagian depan kiri dan kanan kepala Rania terasa sakit. Rania ingin menyelesaikan naskah ini dengan sebenarnya. Dia tidak ingin gagal lagi untuk yang kesekian kalinya.

Ya, Rania pernah beberapa kali mengikuti tantangan menulis online, tapi semuanya berhenti ditengah jalan. Bahkan ada satu event yang Rania tidak menulis naskah sama sekali karena lemahnya motivasinya saat itu. Rania tidak yakin bisa menjadi penulis, dan itulah masalah yang sebenarnya.

Selepas menulis konsep berantakan di buku tulisnya Rania kemudian berwudhu karena adzan ashar sudah berkumandang. Rania kemudian shalat rawatib dan shalat ashar dan berdo’a, berusaha menenangkan dirinya. Kemudian setelah makan sedikit makanan, Rania membuka laptop dan mulai menulis. Mengabaikan suara-suara miring dan hatinya yang mulai melemah motivasinya.

***

Pengidap bipolar jika penyakitnya mulai memburuk kerap kali tidak tidur, oleh karena itu dalam obat yang diberikan dokter pasti ada yang mengandung obat tidur yang membuat Rania mengantuk saat meminumnya.

2011 hingga 2017 adalah masa ketika Rania mendapat obat tidur dengan kadar yang sangat banyak, karena Rania pernah tidak tidur selama dua hari berturut-turut. Obat itu jika diminum akan memaksa Rania untuk tidur hamper 12 jam lamanya. Maka Rania akan tampak tidur sangat nyenyak, padahaldi dalamnya Rania kerap bermimpi buruk, dia tidak tidur dengan perasaan damai melainkan dengan ketakutan yang menggulung seluruh tubuhnya karena tidak bisa bergerak. Kambuh dan obat adalah mimpi buruk yang teramat sangat bagi Rania.

Setelah kejiwaannya agak stabil dan Rania mulai bisa beraktivitas lagi, dia mulai membenci obat-obat itu. Jika meminum obat itu matanya akan memaksa untuk terpejam dan seluruh tubuhnya seperti lumpuh. Rania tidur, namun rasanya seperti dibius. Oleh karena itu Rania mulai tidak meminum obatnya, dan merasa baik-baik saja dan melanjutkan aktivitasnya.

Namun ternyata meninggalkan obat bukan pilihan tepat bagi Rania. Penyakitnya kerap kali memburuk dan membawa Rania pada fase mania ataupun depresi. Akhirnya Titi, sahabat rania menyarankan Rania untuk dirujuk ke rumah sakit Provinsi setelah enam tahun berobat jalan di rumah sakit daerah kota Subang, tempat kelahirannya.

Setelah dirujuk ke rumah sakit Provinsi, keadaan rania mulai membaik. Obat yang diberikan tidak terlampau keras meskipun tetap menghadirkan kantuk yang teramat sangat dan membuat lengan dan punggungnya lemas tak bertenaga. Rania bisa menikah, berjualan, dan mengajar di sekolah dasar. Kehidupan Rania mualai tampak normal seperti orang kebanyakan, sampai akhirnya dia meninggalkan obat kembali karena merasa sudah sembuh.

Itulah awal segala penderitaan Rania, penyakitnya kambuh tanpa Mas Bayu suaminya menyadarinya. Dia kerap kali menangis sesengukan seorang diri karena merasa sendirian, berteriak-teriak marah bahkan kepada orang tua Mas Bayu, sampai akhirnya Rania melakukan hal yang tak dapat ditolelir lagi oleh Mas Bayu. Mereka pun akhirnya bercerai.

Orang tua Rania mulai mencari berbagai pengobatan alternatif ke pesantren-pesantren. Namun Rania semakin tidak bisa ditangani, sampai akhirnya pertengahan 2020 Rania dirawat inap di rumah sakit jiwa Provinsi.

Meskipun pengobatan alternatif tetap dilakukan, namun ayah Rania akhirnya menyadari bahwa pengobatan oleh psikiatri di rumah sakit yang membuat Rania mulai membaik. Karena ingin segera lepas dari obat dan rumah sakit pernah Rania bertanya kepada dokter psikiatri yang menanganinya,

“Dokter, berapa lama lagi saya harus minum obat? Setahun atau dua tahun?”

“Untuk kasus seperti Rania ini tidak dapat dipastikan sampai kapan kamu berhenti minum obat. Kamu sangat memmerlukan obat ini untuk menyeimbangkan hormone dalam kepalamu. Anggap saja seperti penyakit diabetes, yang harus selalu menjaga pola makannya seumur hidupnya agar tidak memburuk. Maka kamu memerlukan obat ini agar penyakitmu tidak kambuh kembali,” jawab dikter Rizki panjang lebar.

“Kalau begitu, kapan kira-kira saya bisa sembuh dok?” Tanya Rania lagi.

“Dalam kasus bipolar, tidak ada kata sembuh, yang ada hanyalah stabil. Bahkan setelah kamu menemukan kehidupan yang membuat kamu bahagia pun kamu tetap memerlukan obat ini sebagai vitamin agar keadaan kamu tetap stabil.”

Rania sedih. Tidak ada prediksi sembuh dari dokter. Tidak ada perkiraan kapan dia bisa melepaskan obat yang harus diminumnya. Yang membuat Rania sedih sebenarnya bukan karena harus minum obat itu, tapi berobat memerlukan waktu dan biaya. Sementara ayahnya tidak akan mungkin muda selamanya, itu yang ada di pikiran Rania, sementara dengan suaminya dia sudah berpisah. Padahal Allah tidak membebani setiap makhluk diluar batas kemampuannya, itu yang tidak diingat Rania.

Rania diingatkan oleh dokter untuk mensyukuri hal-hal kecil yang telah diterimanya saat itu dan berhenti untuk mengkhawatirkan masa depan dengan terlalu berlebihan. Akhirnya hingga hari ini Rania tetap setia meminum obat sebelum tidur, dan bersyukur bahwa setiap harinya dia masih bisa memndapatkan obat itu. Entah sampai kapan. Tapi Rania berharap tidak selamanya harus menerus meminum obat kimia itu untuk bertahan hidup dengan wajar dan normal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar