Selamat datang Kawan!

Menulis bersama angin...
ayo merdeka! ^-^v

Kamis, 04 Februari 2021

KEPING 15 NIKMATNYA REBAHAN ADALAH RACUN MIMPI

 

Kasur yang empuk dan hangat, bantal dan guling yang nyaman, serta selimut kesayangan, menjadi musuh Rania untuk sementara waktu ini. Rania terpikir, mungkinkah yang membuat dia nyaman berbaring dan tidur adalah tempat tidurnya yang terlampau nyaman? 

Maka rania menyingkirkan selimut tebal kesayangannya lalu menggantinya dengan sehelai kain sarung yang tipis. Bahkan rania sengaja tidak memasang sprei agar kasurnya benar-benar tidak nyaman untuk ditiduri. Hasilnya? Tidak ada perubahan sama sekali. Rania tetap tertidur nyenyak dan enggan bangun di pagi harinya.

Ah berarti bukan karena tempat tidurnya yang bermasalah melainkan tubuhnya yang terlampau enggan untuk keluar dari zona nyaman di pagi hari. Jadilah Rania memasang kembali tempat tidurnya seperti sediakala, karena bukannya membuat Rania bangun, kasur tanpa sprei malah membuat Rania gatal-gatal.

Subuh hari Rania terlambat minum kopi yang sudah dia siapkan semalam sehingga dia tidak salat Tahajud, malah meringkuk hangat dalam selimut ungunya itu dan kembali tidur hingga adzan subuh berkumandang.

Selepas salat Subuh Rania tengadah menatap kalender baru di dinding kamarnya, disana tertulis, “Jika mimpimu belum membuatmu bangun untuk salat Tahajud, berarti kamu belum serius dengan mimpimu!”

Rania jadi sedih, dia serius dan benar-benar ingin menjadi seorang penulis. Meskipun mengikuti pelatihan menulis online tidak akan membuatnya langsung terkenal, tapi inilah langkah awal. Sebuah langkah kecil yang akan membawa Rania pada mimpinya.

Bagaimana dengan bipolarnya? Salah satu artikel dari banyak artikel yang Rania baca menyebutkan bahwa dokter memang bias membantu penyakit ini, tapi untuk menyembuhkannya tidak bisa. Oleh karena itu Rania harus sukses meskipun harus hidup selamanya dengan bipolar di kepalanya. Rania juga harus mandiri secara finansial, karena dia harus berobat setiap bulan ke psikiater. Dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit meskipun dibantu oleh asuransi pemerintah. Dan masalah lainnya juga karena rumah sakit tempat Rania berobt cukup jauh dari tempat tinggalnya.

***


Siang hari.

Hujan gerimis turun di tengah hari. Ditemani dengan semangkuk mie rebuh hangat sebagai makan siang, Rania meneruskan tulisan naskah novelnya. Tulisannya tidak berbentuk, hanya sebuah cerita yang bolak-balik dia ulang. Tapi kali ini Rania tidak mempedulikan itu dulu. Mau bagaimana lagi, menulis tulisan seperti itu pun Rania harus melawan kepalanya yang berat seperti batu juga tangannya yang kaku seperti ranting pohon.

Saat menulis naskah novel itu bipolar rania sedang membaik. Dokter menemukan obat yang cocok dengan tubuh Rania sehingga tidak terlalu banyak efek samping yang dirasakannya, paling hanya lemas dan tidak bias bekerja terlalu lelah. Sudah empat bulan dokter tidak mengganti obat yang Rania minum, tidak menambah, juga tidak mengurangi dosisnya. Jadi bisa dikatakan obat kali ini sudah pas kadarnya di tubuh dan kepala Rania.

Ya, bipolar Rania sedang membaik. Sebab kalau sedang kambuh, jangankan menulis cerita bersambung. Memahami dunia nyata saja dia tidak bisa. Membaca buku saja malah membuat kepalanya sakit dan pusing.

Alhamdulillah, nikmat sekali mie yang Rania makan hari ini. Ditemani dengan buku catatan dan sebuah pena yang diletakan dekat mangkok mie karena Rania tidak ingin kehilngan sedikit pun moment ini. Moment makan siang yang nikmat karena dia sedang lebih sehat dan dapat menulis ceritanya di atas kertas.

Walaupun pesimis terus saja menghantui Rania, bahwa dia tidak akan bisa menyelesaikan proyek menulis 30 hari yang diikutinya, Rania terus menggerakan penanya di atas kertas, mengabaikan suara pesimis dalam kepalanya.

Sekarang Rania menyadari satu hal, mengapa beberapa hari kemarin dia kehilangan motivasi dan ingin rebahan saja seharian. Selain karena tidak minum kopi, juga karena Rania mengikuti kemalasannya untuk tidak makan. Memang malas makan (apalagi memasak) adalah masalah rania hingga saat ini, sehingga tubuhnya tidak memiliki energy untuk beraktivitas, termasuk untuk berpikir dan menulis.

Rebahan memang zona nyaman bagi siapapun. Tapi zona nyaman seperti itu bisa membunuh mimpi dan cita-cita yang selayaknya memang harus diperjuangkan. Bukannya dibawa tidur dan rebahan saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar