Selamat datang Kawan!

Menulis bersama angin...
ayo merdeka! ^-^v

Jumat, 14 September 2012

Naskah Perpisahan (2)

 JEDA

Ku Tak Sanggup Lagi_Rossa (Backsound)

setelah sekian lama baru aku menyadari
mengapa ku selalu menahan rasa sakitku
ingin ku hapus saja semua dendam ini
tapi rasa tak mungkin lagi

biarkan ku pergi karena aku tak sanggup lagi
mengingat semua kenangan dulu 
di saat engkau menyakitiku

mengapa semua terjadi di saat kau mulai menyadari
semua kesalahanmu padaku
tapi ku tak sanggup lagi


ku akui sekarang engkau mulai berubah
namun rasa sakitku terlalu dalam tuk terobati
ingin ku hapus saja semua 
semua dendam ini
tapi rasa tak mungkin lagi

biarkan ku pergi karena ku tak sanggup lagi
mengingat semua kenangan dulu 
di saat engkau menyakitiku
mengapa semua terjadi 
di saat kau mulai menyadari
semua kesalahanmu padaku
tapi ku tak sanggup lagi


(biarkan ku pergi) biarkan diriku yang pergi
(karena aku tak sanggup lagi) karena ku tak sanggup lagi
(mengingat semua kenangan dulu di saat engkau menyakitiku)
mengapa semua terjadi di saat kau mulai menyadari
semua kesalahanmu padaku 
tapi ku tak sanggup.....
tapi ku tak sanggup lagi

 Ya, bahkan baru kemarin malam aku benar-benar menyadari bahwa itu adalah hal yang sangat menyakitkan. Baru kemarin malam aku benar-benar tahu bahwa luka itu memengaruhi hidupku hingga sekarang, padahal sudah lebih dari setahun sang waktu mencoba menghapus kisah-kisahnya.

Aku tahu itu tentang pilihan yang harus ku ambil. Mengenang semua kepahitan itu dan berkali-kali jatuh kembali pada kisah yang sama? Atau melupakan semuanya dan mengambil jalan cerita yang baru? Atau pura-pura tak terpengaruh oleh masa lalu, kemudian menjejaki masa depan yang sama sekali baru?

Pilihan pertama terus membayangi langkahku, tapi ku tahu itu tidak baik. 
Pilihan kedua adalah terlalu sulit.
Pilihan ketiga sudah ku coba terapkan, dan itu tidak berhasil. Alam bawah sadarku tak menerima cara itu.
Kini ku putuskan tuk mengambil pilihan keempat: MEMBUNUH masa lalu itu tanpa perlu menyembunyikan kenyataan bahwa aku sangat kehilangan. Lalu ku melangkah menjejaki hidup yang baru. Kalaupun rindu, aku akan bisa menyadarkan diriku sendiri bahwa yang telah mati tak akan hidup lagi. Kalaupun ku masih menyimpan dendam, ku kan nasehati dirikarena tak ada gunanya menyimpan benci kepada yang telah mati.

Salah satu caranya... dengan membuat Naskah Perpisahan ini.

Gambar diambil dari www.google.co.id... ...

SAMBUNGAN
Bunga : "Benarkah Langit yang pernah kau kenal sangat mirip dengan Langitku?"
Aku : "Ya. Sangat mirip. Bahkan terlalu mirip".
Bunga : "Tapi benarkah Langit yang pernah kau kenal itu bukan Langitku?"
Aku : "Ya. Mereka memang terlalu sama untuk dikatakan berbeda. Tapi tetap saja, mereka berbeda.
Langit : "Benarkah Langit yang kau sayangi itu sudah mati? Mati seperti apa? Kenapa dia mati?
Aku : "Iya, dia sudah mati. Mati ya mati, dia meninggal seperti manusia kebanyakan. Bagaimana dia mati aku tak begitu ingat, mungkin Langit sakit parah.
Langit : "Masa kamu tidak tahu mengapa dia meninggal?"
Aku : "Aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa hari itu adalah terakhir kalinya aku bertemu dan melihat langit".
Bunga: "Kapan itu? Kapan terakhir kali kau bertemu dengan Langit yang kau sayangi itu?"
Aku: "Aku hanya ingat saat itu adalah bulan Ramadhan, entah hari dan tanggalnya, aku tak ingat. Uhm... bolehkan aku bercerita tentang hari itu? Hari terakhirku bertemu dengan Langit yang ku sukai dengan rasa suka yang buta itu?"
Langit dan Bunga : "Tentu saja boleh. Silakan!"

Aku : "Saat itu....


"Mataku yang bengkak akibat menangis dan tak tidur semalaman tetap dapat merekam gambar itu dengan baik. Sebuah senyuman yang begitu hangat di pagi yang sejuk. Sebuah senyuman yang menjadi kenangan terindah dari semua kisah yang belalu selama 4 tahun ini. Ini adalah akhir cerita terindah bagiku. 

"Ya, saat itulah cerita kami berakhir.

Gambar diambil dari www.google.co.id... ...

Pagi itu. Ku melihatnya di luar gerbang asrama dengan semuanya yang ku kenal. Dia datang untuk mengembalikan laptop temanku yang masih tidur. Padahal ku sengaja memintanya datang dengan alasan itu, hanya agar ku dapat bertemu lagi dengannya, sekali lagi.

 ...dan aku tahu, dia pun melihat wajahku yang begitu berantakan. Mata bengkak dan wajah lemas akibat kurang tidur, dan dia tahu apa penyebabnya dengan pasti. Ya, malam tadi aku memutuskan untuk menemui mereka (Langit dan kekasih barunya) entah untuk apa. Mungkin untuk memukul hati sendiri agar kemudian mati rasa dan tak lagi merasakan sakit...dan itu ternyata sangat sakit sekali Dia melihat dan tahu rasa sakitku. Aku tahu.

 Akan tetapi tetap tak ada yang bisa menghalangi keindahan pagi itu. Aku tetap sangat bahagia ketika melihat wajahnya saat itu. Wajahnya yang tersenyum wajar, seperti tak ada masalah apapun di antara kami. Senyumnya yang sangat aku sukai...dan aku pun akan selalu ingat kalimat yang Langit ucapkan saat itu. 

            “Masih kuat puasa kan?” katanya.
“Ya iya lah. Kenapa musti gak puasa?” jawabku.
“Gak, takutnya gak kuat,” kata Langit lagi sambil tersenyum. 

Itu sesaat setelah ku menerima laptop darinya dari sela-sela jeruji pintu gerbang. Lalu dia pergi... Tapi ku  masih sempat melambaikan tangan dan tersenyum  mengantar perpisahan itu.

Gambar diambil dari www.google.co.id... ...

Itu adalah moment termanis di antara kebersamaan kami yang sekian lama, meskipun saat itu adalah saat terakhir ku melihat Langit. 

Biasa saja?

Ya, bagi kebanyakan mungkin moment itu adalah momen yang biasa saja. Mungkin juga Langit heran karena aku lebih memilih moment perpisahan ini untuk menjadi kenangan termanis, dari kebersamaan kami yang cukup lama itu.
 
Itu karena...
Ketika itu aku benar-benar merasakan hatinya sampai padaku. Bagaimana dia berusaha tetap tersenyum wajar melihat keadaanku yang membuat hatinya cukup perih. Bukan aku terlalu percaya diri, tapi aku tahu selembut apa hati Langitku (Ah, bukan. Bukan Langitku. Langit tetaplah milik-Nya).

Saat itulah Langit begitu percaya akanku. Bahwa bagaimanapun kondisiku saat itu, aku akan dapat bangkit dan baik-baik saja. Dia tekan luka akibat rasa bersalahnya yang menganga, bersikap seolah dia makhluk tak berhati. Pergi seolah tak peduli. Padahal dia tengah menahan sesak dan keinginan untuk  menunjukan, bahwa dia tetap ingin walau hanya sekadar mengusap kepalaku. Ya, percayakah kalian? Justru saat itulah segenap rasa sayangnya sampai padaku dengan cukup sempurna. Saat itulah, sang pagi membantu Langit berkata dengan sepenuh ketulusan, bahwa dia menyayangiku.”

 ***

Aku : “Itulah terakhir kali aku bertemu dengan Langit. Melihat wajahnya dan senyumnya, juga mendengar suaranya."
Bunga dan Langit : "......."
Aku : "Setelah itulah berita kematian itu sampai padaku dengan mendadak.  Ya, aku tak bisa bertemu lagi dengan Langit di dunia yang fana ini... Tapi aku menolak berita itu, aku tak terima, dan tetap mencari Langit sampai aku kehilangan kewarasanku. Dan akhirnya aku bertemu dengan Langitmu Bunga..."
Bunga: "Kapan itu? Kapan kau bertemu dengan Langitku?"
Aku : "Aku lupa kapan itu. Yang jelas beberapa hari setelah kewarasanku kembali dan aku mulai mengenal kembali dunia nyataku,"
Langit : "Bagaimana kau bisa bertemu denganku?"
Aku : "Cukup mudah, karena kalian memiliki begitu banyak kesamaan. Aku mendatangi kota tempat tinggalmu. Ya, di sini aku menemuimu dan mulai saat itulah aku menganggapmu Langit yang ku kenal... maafkan aku".
Bunga dan Langit : ".............."

(Tamat)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar