“Permisi,
Kang Riko?” gadis berjaket abu-abu itu mencoba menyapa, setelah sebelumnya
berdiri saja sambil berusaha menghubungi lewat pesan singkat. Tentu saja dia
tahu itu orang yang dimaksud, wong fotonya
terpampang jelas di profil facebook.
Hehehe (ini
maksudnya tertawa cengengesan). Murid PPL-ku dulu pada tertawa ketika ku
menanyakan facebook mereka, katanya
“Kalau friendster ada Bu,” kata
mereka sambil tertawa. Aku menebak menurut kacamata umum, tentu mereka
menertawakanku, karena facebook sudah
terlampau kuno bagi mereka. Lah mereka hampir semua pakai blackberry. Tapi maaf, saya orang yang setia, jadi sampai sekarang facebook masih setia menemaniku.
Kembali
lagi kepada cerita awal yang dipause sementara.
“Rinai?”
kata laki-laki yang semenit lalu mengutak-atik telpon gengamnya, tentu saja,
kan harus menjawab pesan singkat dari gadis berjaket abu-abu itu.
“Iyah
Kang,” jawab gadis yang sebenarnya adalah aku.
Sebentar.
Aku lupa melukiskan latar tempat, waktu, suasananya. Saat itu hampir tengah
hari, saat rintik hujan, dibawah terowongan yang dibuat oleh Belanda. Itu juga
bukan percakapan romantis ketika seorang pemuda dan gadis bertemu berdua di
bawah rintik hujan nan syahdu. Itu adalah percakapan antara pembeli dan penulis
buku.
Ya,
meskipun agak disorakin sedikit oleh teman-teman si laki-laki yang bernama Riko
itu, cerita berakhir dengan semestinya. Yaitu sebuah transaksi jual-beli sebuah
buku. Harga bukunya Rp15.000 dan itu adalah buku lelucon yang cukup bagus dan
garing.
Aduh, please kan rencananya mau nulis cerpen
romantis. Kenapa jadi promosi gini?
#dibikin tamat#
Sederhana bukan?
Tidak berkesan mungkin.
Biasa saja.
Hanya transaksi jual beli sederhana...
Tak ada pesan serius, tampaknya.
Aku memang menuliskan asal saja, tentang apa yang ku ingat.
Tapi aku percaya,
setiap rencana Tuhan
semuanya bukanlah untuk sia-sia semata.
Entah ku sudah menangkap arti,
ataupun belum.