“Kenapa kau selalu menuliskan masa
lalu pada cerita-cerita pendekmu, Adeline?”
“Memangnya kenapa, Lu’?” aku balik
bertanya kepada Lu’lu.
Oh ya, biar ku perkenalkan diri
dulu. Biar kalian yang tahu jadi mengenalku, dan yang mengenalku jadi bilang, “Kita
udah tahu kaleee” dengan tatapan gak penting. Namaku Adeline.
Namaku
memang pendek dan itu berasal dari bahasa Prancis yang berarti ‘manis’. Apakah
aku manis? Tentu saja iya, aku adalah buah apel yang manis dan merah. Pasti
kalian bingung, mengapa buah apel bisa menulis cerita pendek. Tidak apa-apa,
sama, aku juga bingung. Hehe (itu artinya senyum bersuara).
Aku sedang bercakap-cakap dengan
temanku, namanya Lu’lu. Lu’lu adalah nama yang berasal dari bahasa Arab yang
artinya ‘permata-mutiara’. Bagus ya namanya? Sama seperti orangnya yang bagus,
bercahaya seperti permata yang bening bersinar. Lu’lu adalah matahari. Matahari
yang selalu menemaniku setiap siang, membantuku berfotosintesis. Iya dia memang datang untuk bertemu daun-daun,
tapi aku suka mencuri-curi waktu untuk berbicara dengannya. Kadang-kadang dia
juga menyapaku duluan. Kita seperti sedang backstreet.
“Memangnya kenapa kalau aku
menjadikan masa lalu sebagai inspirasi?” aku mengulang pertanyaan yang belum
dijawabnya, karena dia sibuk dengan smartphoneyang
dipegangnya (matahari memegang smartphone?
Sudahlah jangan dipikirkan!).
“Ya sebenarnya tidak apa-apa, tapi
nanti kamu jadi terus terjebak pada masa lalu dan tidak sadar dengan masa
sekarang yang indah,” jawabnya, sementara matanya masih pada smartphone itu. Sementara itu, cahayanya
sudah menemui daun-daun yang sibuk menjalankan tugasnya bersama karbondioksida
dan air. Sudah, biarkan saja mereka.
“Terus aku harus menulis apa dong?”
tanyaku lagi.
“Pikir saja sendiri,” jawabnya tanpa
melihatku.
Nyebelin kan? Matahari itu emang
nyebelin. Suka disuruhnya aku berpikir, padahal aku malas berpikir. Kalau aku
cemberut, di gak peduli juga. Iya sih matahari itu sibuk, tapi please anggap aku ada sekali ajah! (Gaya
sinetron).
Siang makin meninggi, matahari
semakin panas, bahkan berkeringat. Ah, kasihan... matahari pasti capek sekali,
tapi aku malah cemberut. Baiklah aku coba mengolah soal yang dia kasih tadi.
Tentang apa itu? Oh ya, tentang menulis cerita pendek, tapi jangan tentang masa
lalu. Kalau menulis tentang masa lalu nanti aku jadi ketinggalan zaman, mungkin
itu maksudnya. Iya kali. Dan ku
tuliskan cerita pendekku untuk hari ini.
Sudah lama sekali sebenarnya Adeline mencintai Lu’lu, tapi dia
diam saja karena memang tidak tahu harus melakukan hal apa. Sebenarnya kata ‘mencintai’
itu sendiri harus dicari dulu pengertiannya. Bisa jadi setiap orang memberi
arti yang berbeda-beda.
Cinta Adeline kepada Lu’lu mungkin
seperti sebuah rasa terima kasih yang sering diungkapkan oleh manusia, karena
Lu’lu sang matahari selalu memberikan sinarnya hingga terlahirlah Adeline si
apel yang manis, juga apel-apel lainnya.
Cinta Adeline kepada Lu’lu juga
mungkin seperti memang seperti itulah seharusnya. Cinta yang diharuskan oleh
sang Pencipta. Bagaimana aku bisa mengatakan seperti itu? Lebih baik kita
bertemu untuk membahas itu.
Cinta Adeline kepada Lu’lu, mungkin
juga hanya sebuah reaksi dari sinar Lu’lu sang matahari yang kemudian berproses
bersama karbondioksida dan air. Lalu menghasilkan oksigen dan glukosa. Glukosa
yang menjelma rupa sebagai Adeline.
Yang jelas, cinta Adeline kepada Lu’lu
bukanlah cinta picisan. Tamat.
Sementara itu, pohon apel dan Lu’lu
hanya tersenyum, melihat Adeline asik menulis cerita pendeknya. Melihat buah hati mereka yang manis dan selalu bersemangat menggambari hidupnya sendiri. Dalam senyum mereka berdoa, semoga kelas biji Adeline dapat bertemu dengan tanah, sehingga Adeline dapat bersama dengan Lu'lu, bersama tersenyum menyaksikan Adeline-Adeline lainnya tumbuh. Ah, ya. Mungkin namanya bukan Adeline.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar