Selamat datang Kawan!

Menulis bersama angin...
ayo merdeka! ^-^v

Minggu, 01 September 2013

Hidup Terus Berjalan

Nurin menatap pemandangan di depannya dengan perasaan yang tak bisa dilukiskan bahkan oleh dirinya sendiri,
            “Aku benci melihatnya, Bu!” ucapnya kemudian dengan pandangan yang tak beralih.
            “Ibu tahu sayang,” Ibu mengusap-usap punggung gadis sulungnya itu, punggung itu tegang, seperti menahan sesuatu yang berat.
            “Lalu mengapa Ibu mengajakku melihat ini?” lanjut Nurin lagi, “Aku tidak bisa merasakan kebahagiaan mereka!” Nurin tetap memandang benci dan tajam.



           Di sana itu,di halaman bangunan indah sebuah sekolah dasar yang juga menyatu dengan SMP dan SMA, di sebuah tempat yang biasa disebut taman, tepat beberapa meter dari tempat Nurin dan Ibu berdiri di tempat yang agak tersembunyi.
Arya tengah bersama ketiga adiknya. Alan kelas 3 SMA, Dinda kelas 2 SMP dengan kruk yang menopang tubuhnya, dan Dio kelas 3 SD yang tengah sibuk dengan mainan puzzle yang dibawa Arya untuknya, hadiah untuk juara kelas yang didapatnya.
Mereka tampak bergembira dengan kedatangan Arya. Dinda tampak sibuk bercerita tentang rencana studytour kepada Arya, sementara Dio terkadang menarik-narik baju Arya untuk menunjukan puzzle yang berhasil dia kerjakan meskipun ada yang belum sesuai memasangnya, sementara Alan yang pendiam hanya tersenyum-senyum melihat mereka.
Tapi kemudian Alan tampat mendapat pekerjaan baru, membantu kotak kue yang dibawa seorang gadis cantik berkerudung pink lembut yang baru saja datang tersenyum dengan riang. Semua menyambutnya dengan gembira sekali. Arya tersenyum melihat adik-adiknya menyambut yang baru datang itu…Erina, anugerah terindah yang Tuhan kirimkan untuknya. Lalu seorang guru datang dan tersenyum kepada Arya, permisi sebentar untuk berbicara dengan Arya. Guru cantik berjilbab lebar itu Rina, sahabat Nurin.
            Lalu Nurin? Nurin tetap di tempatnya berdiri, bergeming, namun sekarang matanya basah,”Aku benci melihat semmua itu, Bu!” katanya lagi dengan air mata yang menderas tanpa isak. Ibu hanya mengusap-usap punggung Nurin.
            “Aku protagonist dalam cerita ini Bu! Mengapa dia yang jahat justru berakhir bahagia?” lanjut Nurin dengan air mata yang semakin menderas, “Aku tidak mau mengakui itu, aku sakit melihatnya Bu!” Kini ibu meraih pundak Nurin lalu memapahnya menjauh dari pemandangan itu. Mereka lalu duduk di sebuah bangku di halaman samping sekolah.
            “Mengapa ibu ingin aku melihat hal menyakitkan itu?” Nurin mulai terisak, “Ibu ingin aku menerima kenyataan bahwa aku kalah?” ibu belum bicara, hanya mengusap-usap punggung sulungnya yang berguncang. “Apa aku benar-benar tidak boleh sakit hati dan benci kepada Arya?” lanjut Nurin lagi, semakin pedih hatinya.
            Inu kini memeluk Nurin, hatinya tersayat juga melihat gadis cikalnya itu. Setelah melepaskan pelukannya, ibu menghapu air mata Nurin dengan tangannya lanta tersenyum.
            “Ibu tidak bermaksud menyakitimu dengan mengajak ke sini Nak,” kata Ibu, “Arya mungkin memang jahat, tapi itu hanya kepadamu saja.”
            Ibu melanjukan lagi, “Bagimu Arya betul-betul telah jahat dan menyakitimu, tapi bagi adik-adiknya Arya adalah pahlawan mereka.”
            Nurin mengiyakan dalam hati, tapi itu justru membuah hatinya makin pedih tanpa bisa ia jelaskan alasannya. Ibu melanjukan lagi berbicara, “Bagimu Arya kejam tak berperasaan, tapi bagi kawan-kawannya, bahkan untuk Rina sahabatmu, Arya tetap kawan dan kakak yang baik. Arya tetap salah satu teman yang mereka sayangi.” Kata Ibu, sementara air mata Nurin semakin merebak.
            Kini Ibu pun sudah tak bisa menahan air mata yang mulai menggenang, menarik nafas, lalu melanjutkan lagi,
            “Bagimu Arya telah menghancurkan hati dan hidupmu, membuatmu sakit, dan membuatmu benar-benar benci…” Ibu menarik nafas, mendekap Nurin yang tak punya lagi sekat di matanya, tumpah, air matanya membanjiri perasaannya, menyirami lukanya seperti siraman obat luka yang menyakitkan.
            “Tapi adalah alah jika kau ingin seluruh dunia, adik-adiknya, kawan-kawanmu, ikut membencinya,” Ibu mengeratkan pelukan pada Nurin yang tangisannya semakin membuat tubuhnya berguncang, “Kesalahan Arya itu hanya kepadamu Nak, dan kepada dirinya sendiri,” lanjut Ibu.
            Ibu melepaskan pelukan, sekali lagi mengusap air mata Nurin, “Lepaskan dia Nak, dia punya panggunya sendiri, punya ceritanya sendiri,” perlahan guncangan tangis Nurin mereda, Ibu mengusap-usap punggunya, “Lepaskanlah. Kau juga punya panggungmu sendiri, ceritamu sendiri,” Nurin memandang Ibu…
            “Ibu, Nurin tidak mau sendirian,” lanjut Nurin lemah. Ibu tersenyum lagi, “Selama ini pun kau tak pernah sendiri Nak!”
            Kini Nurin menghapus air matanya sendiri. Dalam hati Nurin mengumpulkan seluruh harapan, dia harus melanjukan ceritanya sendiri, panggungnya sendiri.


               “Kakak melamun?” Alan mebuyarkan lamunan Arya, “Kakak sedang memikirkan apa?”
            “Ah, tidak. Kakak tidak sedang memikirkan apa-apa,” Arya tersenyum, Alan tidak bertanya lagi. Lantas merekadisibukan kembali oleh Dinda dan Dio, juga Erina yang tersenyum menghampiri. Dititipkannya sebagian rasa tak terdefinisi di sebagian hatinya kepada angin yang lewat. Rasa apa itu? Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Sepotong sajak:
Setiap manusia memiliki ceritanya sendiri.
Skenario hidup yang telah disusun apik, tepat, oleh Sang Maha Pencipta.
Bagaimanapun, masa lalu tak akan berubah
Bagaimanapun, kesakitan pasti ada
Bagaimanapun, tidak baik itu ada
Bagaimanapun, semua manusia adalah tokoh utama bagi lakon kehidupannya.
Tak seperti orang yang benar-benar baik,
Manusa yang benar-benar jahat itu tak pernah ada, sebesar apapun kebencianmu kepadanya.
            Tuhan mengatur segalanya sempurna, manusia akan mengikuti sesuai dengan
            keyakinan yang digenggamnya.

            Hidup terus berjalan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar