Nurin menatap pemandangan di depannya dengan
perasaan yang tak bisa dilukiskan bahkan oleh dirinya sendiri,
“Aku benci melihatnya, Bu!” ucapnya
kemudian dengan pandangan yang tak beralih.
“Ibu tahu sayang,” Ibu mengusap-usap
punggung gadis sulungnya itu, punggung itu tegang, seperti menahan sesuatu yang
berat.
“Lalu mengapa Ibu mengajakku melihat
ini?” lanjut Nurin lagi, “Aku tidak bisa merasakan kebahagiaan mereka!” Nurin
tetap memandang benci dan tajam.
Di sana itu,di halaman bangunan
indah sebuah sekolah dasar yang juga menyatu dengan SMP dan SMA, di sebuah
tempat yang biasa disebut taman, tepat beberapa meter dari tempat Nurin dan Ibu
berdiri di tempat yang agak tersembunyi.
Arya tengah bersama ketiga adiknya. Alan kelas 3
SMA, Dinda kelas 2 SMP dengan kruk yang menopang tubuhnya, dan Dio kelas 3 SD
yang tengah sibuk dengan mainan puzzle
yang dibawa Arya untuknya, hadiah untuk juara kelas yang didapatnya.
Mereka
tampak bergembira dengan kedatangan Arya. Dinda tampak sibuk bercerita tentang
rencana studytour kepada Arya,
sementara Dio terkadang menarik-narik baju Arya untuk menunjukan puzzle yang berhasil dia kerjakan
meskipun ada yang belum sesuai memasangnya, sementara Alan yang pendiam hanya
tersenyum-senyum melihat mereka.
Tapi
kemudian Alan tampat mendapat pekerjaan baru, membantu kotak kue yang dibawa
seorang gadis cantik berkerudung pink lembut
yang baru saja datang tersenyum dengan riang. Semua menyambutnya dengan gembira
sekali. Arya tersenyum melihat adik-adiknya menyambut yang baru datang
itu…Erina, anugerah terindah yang Tuhan kirimkan untuknya. Lalu seorang guru
datang dan tersenyum kepada Arya, permisi sebentar untuk berbicara dengan Arya.
Guru cantik berjilbab lebar itu Rina, sahabat Nurin.
Lalu Nurin? Nurin tetap di tempatnya
berdiri, bergeming, namun sekarang matanya basah,”Aku benci melihat semmua itu,
Bu!” katanya lagi dengan air mata yang menderas tanpa isak. Ibu hanya
mengusap-usap punggung Nurin.
“Aku protagonist dalam cerita ini Bu!
Mengapa dia yang jahat justru berakhir bahagia?” lanjut Nurin dengan air mata
yang semakin menderas, “Aku tidak mau mengakui itu, aku sakit melihatnya Bu!”
Kini ibu meraih pundak Nurin lalu memapahnya menjauh dari pemandangan itu.
Mereka lalu duduk di sebuah bangku di halaman samping sekolah.
“Mengapa ibu ingin aku melihat hal
menyakitkan itu?” Nurin mulai terisak, “Ibu ingin aku menerima kenyataan bahwa
aku kalah?” ibu belum bicara, hanya mengusap-usap punggung sulungnya yang
berguncang. “Apa aku benar-benar tidak boleh sakit hati dan benci kepada Arya?”
lanjut Nurin lagi, semakin pedih hatinya.
Inu kini memeluk Nurin, hatinya
tersayat juga melihat gadis cikalnya itu. Setelah melepaskan pelukannya, ibu
menghapu air mata Nurin dengan tangannya lanta tersenyum.
“Ibu tidak bermaksud menyakitimu
dengan mengajak ke sini Nak,” kata Ibu, “Arya mungkin memang jahat, tapi itu
hanya kepadamu saja.”
Ibu melanjukan lagi, “Bagimu Arya
betul-betul telah jahat dan menyakitimu, tapi bagi adik-adiknya Arya adalah
pahlawan mereka.”
Nurin mengiyakan dalam hati, tapi
itu justru membuah hatinya makin pedih tanpa bisa ia jelaskan alasannya. Ibu
melanjukan lagi berbicara, “Bagimu Arya kejam tak berperasaan, tapi bagi
kawan-kawannya, bahkan untuk Rina sahabatmu, Arya tetap kawan dan kakak yang
baik. Arya tetap salah satu teman yang mereka sayangi.” Kata Ibu, sementara air
mata Nurin semakin merebak.
Kini Ibu pun sudah tak bisa menahan
air mata yang mulai menggenang, menarik nafas, lalu melanjutkan lagi,
“Bagimu Arya telah menghancurkan
hati dan hidupmu, membuatmu sakit, dan membuatmu benar-benar benci…” Ibu
menarik nafas, mendekap Nurin yang tak punya lagi sekat di matanya, tumpah, air
matanya membanjiri perasaannya, menyirami lukanya seperti siraman obat luka
yang menyakitkan.
“Tapi adalah alah jika kau ingin
seluruh dunia, adik-adiknya, kawan-kawanmu, ikut membencinya,” Ibu mengeratkan
pelukan pada Nurin yang tangisannya semakin membuat tubuhnya berguncang,
“Kesalahan Arya itu hanya kepadamu Nak, dan kepada dirinya sendiri,” lanjut
Ibu.
Ibu melepaskan pelukan, sekali lagi
mengusap air mata Nurin, “Lepaskan dia Nak, dia punya panggunya sendiri, punya
ceritanya sendiri,” perlahan guncangan tangis Nurin mereda, Ibu mengusap-usap
punggunya, “Lepaskanlah. Kau juga punya panggungmu sendiri, ceritamu sendiri,”
Nurin memandang Ibu…
“Ibu, Nurin tidak mau sendirian,”
lanjut Nurin lemah. Ibu tersenyum lagi, “Selama ini pun kau tak pernah sendiri
Nak!”
Kini Nurin menghapus air matanya
sendiri. Dalam hati Nurin mengumpulkan seluruh harapan, dia harus melanjukan ceritanya
sendiri, panggungnya sendiri.
…
“Kakak melamun?” Alan mebuyarkan
lamunan Arya, “Kakak sedang memikirkan apa?”
“Ah, tidak. Kakak tidak sedang
memikirkan apa-apa,” Arya tersenyum, Alan tidak bertanya lagi. Lantas
merekadisibukan kembali oleh Dinda dan Dio, juga Erina yang tersenyum
menghampiri. Dititipkannya sebagian rasa tak terdefinisi di sebagian hatinya
kepada angin yang lewat. Rasa apa itu? Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Sepotong sajak:
Setiap manusia memiliki ceritanya
sendiri.
Skenario hidup yang telah disusun apik,
tepat, oleh Sang Maha Pencipta.
Bagaimanapun, masa lalu tak akan berubah
Bagaimanapun, kesakitan pasti ada
Bagaimanapun, tidak baik itu ada
Bagaimanapun, semua manusia adalah tokoh
utama bagi lakon kehidupannya.
Tak seperti orang yang benar-benar baik,
Manusa yang benar-benar jahat itu tak
pernah ada, sebesar apapun kebencianmu kepadanya.
Tuhan
mengatur segalanya sempurna, manusia akan mengikuti sesuai dengan
keyakinan
yang digenggamnya.
Hidup
terus berjalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar